Jakarta, kebunjp Indonesia
—
Angin semilir membelai pakaian-pakaian di depan sebuah
toko
di
Pasar Cinere
, Jakarta. Daster, kemeja, hingga pakaian anak terpampang di depan toko, tetapi tak ada
pembeli
yang mampir.
Toko itu milik Emi, perempuan 34 tahun yang sudah bertahun-tahun menjajakan pakaian.
Emi mengenang masa-masa kejayaan toko mungilnya itu. Dulu, pembeli mengantre, begitu pula rupiah yang terus mengalir ke dompet Emi.
Kini, sepi menyelimuti tokonya. Pembeli datang musiman. Lebih banyak baju yang dipajang ketimbang pembeli yang datang.
“Sekarang apa-apa kan mahal, jadi banyak yang memilih enggak beli baju baru. Beberapa pelanggan saya bilang, ‘Beli bajunya nanti ya, Bu, mau belanja bulanan dulu, makin mahal,’,” tutur Emi saat
kebunjpIndonesia.com
mampir ke tokonya, Kamis (21/8).
Tiga tahun lalu, Emi bisa mengantongi Rp10 juta per bulan. Belakangan ini, toko baju Emi cuma mampu menghasilkan Rp7 juta-Rp8 juta per bulan, itu pun tergantung momen.
Cuan bukan lagi alasan Emi berjualan. Ia masih menjajakan pakaian di Pasar Cinere karena tak ada pilihan pekerjaan lain.
Denyut nadi toko Emi hanya bergantung pada daster yang dilego Rp100 ribu untuk tiga helai. Sisanya, ia mengandalkan penjualan pakaian anak dan gamis yang baru ramai diburu saat menjelang Lebaran.
Setidaknya, kata Emi, ada tambahan uang untuk membantu suaminya. Ia juga masih bisa mendapatkan tambahan biaya untuk sekolah anak-anaknya.
“Penjualan sih masih jalan, alhamdulillah,” ujar Emi.
Lesunya penjualan tak hanya dirasakan Emi. Di deretan ruko itu, tampak tiga toko ditutup.
Di seberang ruko Emi, tampak Abdul tengah membereskan tumpukan seragam sekolah. Pembeli tak jadi membelinya sehingga ia harus merapikannya kembali.
Pria 56 tahun itu bercerita kondisi berjualan pakaian semakin sulit, pembeli makin jarang datang ke pasar.
Abdul berkata bukan hanya dirinya yang mengalami hal ini. Sejumlah pedagang di Pasar Cinere juga mencicipi getir lesunya perekonomian.
Toko Abdul hanya ramai saat menjelang tahun ajaran baru dan Lebaran. Selebihnya, pakaian-pakaian bagai pemanis di toko tersebut.
“Kalau musim masuk sekolah baru kayak Juni dan Juli kemarin mah bisa sampai Rp12 jutaan. Kalau hari biasa seperti sekarang cuma Rp5 jutaan per bulan,” tutur Abdul menahan senyum.
Puluhan tahun Abdul habiskan dengan berdagang pakaian di pasar itu. Menurutnya, kondisi seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Ia sudah berupaya mengadopsi zaman dengan menjajal berdagang
online
. Mulai dari seragam hingga pernak-pernik anak sekolah ia jajakan di akun
marketplace
.
Meski begitu, kondisinya 11-12 dengan di pasar. Dagangan Abdul hanya laku segelintir. Pembeli, jika ada, lebih suka datang ke toko dan membeli langsung.
“Ya yang laku cuma dasi sama kaos kaki. Seragam itu orang lebih suka beli langsung, biar bisa dicoba ke anaknya,” ucapnya.
[Gambas:Video kebunjp]
(ldy/dhf)
Baca lagi: 2 Sirkuit MotoGP 2025 yang Belum Pernah Dimenangi Marquez
Baca lagi: Lab 45 Sayangkan Satsiber TNI Tak Dipimpin Perwira Bintang 2
Baca lagi: Putin Installs Confused Face Affairs War Questions in Ukraine