Jakarta, kebunjp Indonesia
—
Satgas Pangan Polri
mengakui stok
beras
di sejumlah
ritel modern
sempat kosong dalam beberapa pekan terakhir.
Kepala Satgas Pangan Polri Brigjen Helfi Assegaf mengatakan kondisi itu terjadi karena sebagian produsen dan distributor enggan memasok kembali barang ke pasar lantaran khawatir akan diproses hukum.
“Memang ada penurunan. Otomatis, karena informasinya mereka melakukan penarikan. Bukan menarik, tapi menghabiskan stok yang ada di ritel dan tidak mengisi kembali. Apa masalahnya kita dalami kembali. Kenapa tidak kamu mengisi? ‘Kami takut, Pak, nanti ditangkap’,” ujar Helfi dalam Diskusi Publik Paradoks Kebijakan Hulu-Hilir Perberasan Nasional di Gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Selasa (26/8).
Menurutnya, ketakutan itu muncul karena sebagian produsen tidak menjalankan standar mutu sebagaimana tercantum di label kemasan.
“(Saya bilang), ‘Kalau kalian sesuai dengan apa yang kamu tempel di label, ya enggak ada masalah. Perizinanmu ada, semuanya ada. Terus apa masalahnya? Karena kalian takut sendiri menjual yang tidak sesuai komposisi’,” katanya.
Helfi menjelaskan Satgas Pangan selama ini lebih banyak melakukan pendekatan preemptive alias pencegahan dengan menggandeng kementerian dan lembaga terkait. Namun karena pelanggaran masih berulang, upaya hukum akhirnya ditempuh.
Hingga kini, sudah ada 25 perkara dengan 28 tersangka yang ditangani terkait operasional produksi beras.
Satgas Pangan juga menemukan adanya produsen yang memasarkan beras tanpa pernah melakukan uji laboratorium.
“Ada yang memang tidak berproduksi karena mereka tidak punya lab. Mereka menjual kemasan, tapi tidak punya lab. Pokoknya keliling, selesai, jadi beras, langsung kemas premium, jual. Harga tinggi. Itu yang terjadi,” tutur Helfi.
Meski begitu, ia menegaskan pihaknya belum menemukan adanya praktik penimbunan beras di tingkat ritel maupun gudang.
“Alhamdulillah sampai hari ini penimbunan belum kita temukan. Mereka begitu didatangi, langsung dorong barang ke ritel. Besok pagi dicek, barang sudah ada,” ujarnya.
Helfi menambahkan stok beras nasional sebetulnya cukup. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi pada Agustus 2025 mencapai sekitar 3,2 juta ton, sementara kebutuhan nasional hanya 2,6 juta ton.
“Artinya ada surplus 400 ribu ton. Produksinya tidak ada masalah, tinggal kita cari tempatnya ada di mana,” katanya.
Satgas kini menggandeng Perum Bulog dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) untuk memastikan pasokan di ritel segera pulih, termasuk lewat program beras murah Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang dijual dengan harga sesuai harga eceran tertinggi (HET).
[Gambas:Video kebunjp]
Dari hasil pengecekan di lapangan, sudah ada 30 polda yang melaporkan ketersediaan beras di pasar modern maupun tradisional sesuai harga eceran tertinggi.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Solihin mengungkapkan kekosongan stok beras di ritel modern dipicu kasus beras oplosan.
Peritel sempat mendapat tekanan dari pemerintah pusat untuk tetap menjual merek-merek yang disebut dalam kasus tersebut, sementara di sisi lain polisi memanggil peritel untuk dimintai keterangan, dan sebagian masyarakat maupun pemerintah daerah meminta produk itu diturunkan dari rak.
Situasi itu membuat sejumlah peritel memilih mengurangi stok di gerai.
“Saya peritel punya anggota 54 ribu, dalam keadaan kemarin anggota saya banyak dipanggil oleh polisi. Kenapa? Ya, karena menjual beras yang diumumkan, sehingga kita mengurangi lah,” kata Solihin di Lippo Mall Nusantara, Jakarta Selatan, Kamis (14/8).
Kasus beras oplosan mencuat beberapa waktu silam, usai Satgas Pangan menetapkan tiga tersangka dari PT Padi Indonesia Maju (PIM) Wilmar yang memproduksi empat merek beras premium, yakni Sania, Fortune, Sovia, dan Siip, tidak sesuai standar mutu.
Penyidik menyita hampir 59 ton beras dengan kandungan patah dan kadar air melebihi ketentuan. Polisi juga menemukan pelanggaran pada merek lain yang diproduksi PT Food Station dan Toko Sumber Rejeki.
Di sisi lain, Bapanas juga menyoroti penyaluran beras SPHP produksi Bulog yang dinilai masih belum optimal. Berdasarkan hasil pemantauan 11-22 Agustus 2025, beras SPHP belum tersedia di sebagian besar pasar tradisional, ritel modern, kios pangan, Rumah Pangan Kita (RPK), maupun Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes) Merah Putih.
“Hal ini mengindikasikan bahwa penyaluran beras SPHP masih belum optimal,” ujar Deputi III Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Bapanas Andriko Noto Susanto dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah Tahun 2025, Senin (25/8).
Ia menambahkan beras premium juga langka di sejumlah ritel modern, yang kini lebih banyak menjual beras fortifikasi dengan harga relatif lebih tinggi dibanding beras premium.
(del/agt)
Baca lagi: Gudang Jan Hwa Diana Tersangka Penahanan Ijazah Dibobol Maling
Baca lagi: Sutradara Bocorkan Ide Cerita Sekuel Kpop Demon Hunters
Baca lagi: Jadwal Pemain Diaspora Indonesia Tanding di 17 Agustus